Menyontek dan Korupsi




Hari itu adalah hari Rabu. Hari dimana saya akan mengadakan Ulangan Harian pertama kali di kelas ini, materi yang diulangankan adalah menyangkut Hubungan Internasional. Para siswa bersiap-siap, lalu kelaspun hening. Sebelum membagikan kertas ulangan, seperti biasa, saya memberikan pengarahan dan menetapkan aturan yang harus dipatuhi selama menjalani ulangan.

Point penting yang paling saya tekankan pada siswa, adalah dilarang menyontek. Saya menegaskan bahwa pada pelajaran yang saya asuh, Pendidikan Kewarganegaraan, tidak hanya mengutamakan kemampuan siswa di bidang kognitif, tetapi juga memiliki fokus yang cukup signifikasn terhadap ranah afektif (sikap). Siswa yang kedapatan menyontek bukan hanya tercela secara kognitif karena dianggap tidak mampu menguasai materi, tetapi juga tercela secara sikap.

Mengapa? Siapa yang tak tau bahwa menyontek itu perbuatan tercela? Namun bagi saya pribadi, menyontek semakin tercela ketika dilihat dari sudut pandang pola pikir sang pelaku. Saya sering mengatakan pada siswa, bahwa bagi saya siswa yang menyontek tidak lebih baik dengan koruptor. Siswa sering sekali mencela-cela para koruptor dan perilaku serta dampak dari perbuatan para koruptor tersebut setiap kali terdapat pembahasan dan pertanyaan mengenai situasi negara ini. Namun apabila mereka sendiri juga menyontek, di saat pola pikir koruptor dan penyontek adalah sama, sesungguhnya mereka lebih buruk dari pada koruptor. Mereka melakukan perilaku yang sama tercelanya, namun malah menjustifikasi orang lain. Munafik jadinya.

Bagi yang tak paham, mungkin akan merasa absurd, mengapa koruptor dan penyontek bisa digolongkan ke dalam jenis perbuatan yang sama derajat tercelanya di saat jelas-jelas tingkat kejahatan keduanya luar biasa jauh berbeda. Sekali lagi saya katakan bahwa, hal ini tidak diukur pada tingkat kejahatannya, namun pada pola pikirnya—hal yang menurut saya malah jauh lebih berbahaya dan harus diantisipasi. 

Saya sering menyatakan pada para siswa, harus selalu bersedia dan berani menerima resiko atas setiap perbuatan, karena setiap  perbuatan akan disertai dengan konsekuensinya. Sehingga, seperti dalam ulangan maupun proses pembelajaran lainnya, jika ingin mendapatkan hasil yang baik, maka harus mau berusaha dan belajar dengan baik pula. Apabila tidak melakukan persiapan dengan matang dan tidak belajar dengan baik, mereka harus menerima hasil buruk berupa nilai yang rendah, dan konsekuensi buruk lainnya. Setidaknya dalam hal ini, mereka hanya akan dipandang minus dari segi kognitif saja, meskipun kerja keras mereka yang tidak maksimal juga bukan sikap yang pantas. Yang merupakan perbuatan yang jauh lebih tercela, adalah di saat terdapat siswa yang tidak bersedia berusaha sepantasnya, namun ingin memperoleh hasil yang baik hingga akhirnya akan mencari jalan pintas apapun untuk memenuhi tujuannya. Siswa yang ingin nilai bagus tanpa belajar, sama saja dengan orang yang ingin kaya namun tidak berusaha secara tepat dan maksimal. Jikapun memang tidak ingin berusaha, ya silahkan terima konsekuensi berupa hasil yang tidak memuaskan juga, setidaknya hal ini jauh lebih terhormat.

Orang-orang yang ingin berhasil tanpa usaha yang wajar, merekalah orang-orang yang dikemudian hari menjadi penjilat, maling, juga koruptor. Oleh karenanya, ini adalah persoalan mindset. Sekarang mereka mungkin hanya menyontek, namun dikemudian hari dengan pola pikir demikian yang telah dibiasakan, kita tidak pernah tau mereka akan menjadi apa—semoga saja bukan menjadi seperti yang tidak kita harapkan.

Lagi pula, saya selama ini berusaha demokratis dalam memberikan soal-soal ulangan. Selain berisikan soal-soal yang bermuatan teoritis, juga terdapat soal-soal analisa dan kesemuanya dipersilahkan menjawab sesuai dengan pendapat dan pengetahuan masing-masing siswa. Dalam hal ini, tidak ada jawaban yang salah, setiap jawaban tetap akan ada penilaian kecuali jika jawaban sudah terlalu melenceng jauh dan salah total.

Namun, kala itu saya cukup kaget ketika mendapati siswa yang dengan cepatnya mengumpulkan kertas ulangan. Bukan karena ia sudah menyelesaikan seluruh soal-soal ulangan, karena siswa tersebut justru mengumpulkan kertas jawaban yang kosong. Kertas kosong! Saat saya tanya mengapa, ia hanya menjawab dengan sopan, “Maaf bu, saya bukan disrespect, saya semalam tidak belajar sama sekali dan saya tidak selalu fokus mendengar penjelasan ibu. Meskipun soal-soalnya kebanyakan analisa, namun bukan tipe soal yang jawabannya bisa dikarang bebas. Andai saya sempat belajar sedikit saja, saya pasti bisa menjawab. Apalagi tadi ibu bilang masalah menyontek dan tindakan tidak bermoral. Jadi, saya ikut remedial saya.”

Jujur, saya kaget dan merasa sangat kecewa. Belum pernah ada siswa yang memberikan kertas jawaban ulangan kosong kepada saya. Seketika saya merasa ada perasaan bahwa saya sudah gagal, setidaknya terhadap siswa yang satu ini. Namun di satu sisi ada perasaan bangga, setidaknya ia bisa memahami perkataan saya mengenai menyontek adalah tindakan yang tercela, tidak banyak siswa yang ‘berani’ seperti ini. Sepertinya saya sendiri harus lebh banyak belajar.

Komentar

Postingan Populer