Fana
Pada akhirnya, saya jadi terseret untuk berpikir-dalam mengenai banyak fenomena yang menunjukkan mengapa umat manusia kini cenderung mendramatisir masalah dan kesedihan yang mereka miliki. Istilah galau dan sebagainya juga berbagai jenis perilaku yang menyertainya terkadang, membuat saya tidak habis pikir. Juga terhadap diri sendiri, ketika mendapati bahwa ada kalanya saya juga sedih dan merasa tertekan secara dalam terhadap hal-hal yang seharusnya tak perlu diresapi dengan cara yang demikian. Saya tak tau apakah ada yang salah dengan konsep perilaku yang selama ini saya bentuk. Bahwa sesulit apapun keadaannya, saya harus bersikap kuat dan tegar, tidak boleh ada air mata, keluhan apa lagi menunjukkannya di depan khalayak ramai. Mama pernah menasehati, “jangan sampai kita bisa ‘diukur’ oleh orang lain, bahwa kita sedih dan senang cukup diri kita sendiri yang tau”. Oleh karenanya saya akan dengan mudahnya merasa salah dan bodoh ketika mendapati diri dalam keadaan galau, sedih, stress, dsb. Menjadi manusia lemah adalah terlarang.
Namun, karena bagaimanapun kita
hanyalah manusia, akan sulit menghindarkan diri dari perasaan-perasaan yang
saya anggap negatif itu, terutama ketika kita ada dalam situasi yang kurang
berpihak pada kita. Di saat berkonflik dengan orang lain, cemas dan gagal dalam
meraih apa yang terlalu diinginkan, masalah keluarga, financial, dsb. Oleh
karenanya, meski sudah sedemikian berusaha mengontrol diri, tetap juga merasa down.
Ketika sudah begini, hanya satu tempat
yang dapat dan layak dituju. Allah, Rabb kita. Hanya di saat shalat lah, selalu
ada bisikan-bisikan yang entah darimana datangnya dengan halus menyusup hati
yang tengah tak menentu, “Untuk apa sedih, susah dan stress terhadap
permasalahan dan segala hal yang menyangkut dunia? Bukankah dunia ini fana?
Dunia ini hanya sekedar perantara menuju Tuhan dan akhirat. Kau boleh bercita-cita
apapun dan berusaha sekeras apapun demi dunia. Namun tak perlu terlalu
terobsesi, kau harus sadar bahwa apapun itu, tak akan kekal, bukan sesuatu yang
pantas kau sesalkan dan membuatmu terguncang. Cukup ingatlah Tuhan dan akhirat
kala itu.”
Tak salah memang ketika ada yang
mengatakan bahwa hanya dengan bersama Allah, hati dapat menjadi tenang. Namun, sepertinya
hanya ketika kita sepenuhnya ‘menyerahkan’ diri pada-Nya. Manusia memang sering
sekali merasa bahwa ia adalah penguasa sepenuhnya atas dirinya sendiri, mengenai
apa yang terjadi, arah kehidupan, sikap yang akan diambil. Kita kadang lupa
bahwa kita sebenarnya tidak sepenuhnya berkuasa atas diri dan kehidupan kita,
karena Tuhan masih ada.
Mengingat apa yang pernah tersurat di buku Ibadah Sepenuh Hati, buah karya Amru Khalid. Beliau menceritakan, “Suatu ketika saya pernah duduk-duduk bersama sekelompok remaja yang baik, dan saya usulkan kepada mereka sebuah ide unik, yaitu setiap orang bercerita tentang kenikmatan terbesar yang telah dianugrahkan Allah kepadanya. Ide ini pun berlangsung dengan baik. Ada yang mengatakan: kesehatan. Yang lain mengatakan: anak-anak. Sebagian yang lain mengatakan: pendengaran dan penglihatan. Sebagian lagi mengatakan: ayah dan ibu, dan sebagian lain: harta benda. Di samping itu ada juga yang mengatakan: Islam. Kemudian tibalah giliran seorang pemuda yang berumur 18 tahun. Bisakah Anda memperkirakan apa yang dikatakannya? Ia mengatakan: Nikmat terbesar dalam hidup ini, bahwa Allah adalah Rabb kita”.
Cukuplah bahwa sebaik-baiknya doa yang kita panjatkan adalah berupa rasa syukur.



Komentar
Posting Komentar