Diri yang Berarti
Di dalam hidup, kita tentu akan
menjumpai berbagai jenis manusia beserta keragaman karakternya juga kehidupan
yang mereka jalani. Bahwa setiap orang akan memaknai hidup secara berbeda, itu
sudah pasti. Namun terkadang jadi kasihan, ketika mendapati orang-orang yang
kita kenal berada pada situasi ‘kebingungan’ terhadap diri sendiri dan
lingkungan di sekitarnya. Contohnya saja, seorang kenalan yang telah memiliki
pekerjaan tetap yang cukup mapan. Dari sudut pandang tertentu, kita dapat
menganggap bahwa ia telah berada di kehidupan yang cukup baik. Setidaknya
dibandingkan dengan banyak kenalan sejawat lainnya yang kehidupannya jauh lebih
sulit, baik karena belum memiliki pekerjaan atau sudah bekerja namun belum
memperoleh penghasilan yang pantas. Namun yang mengherankannya, ternyata kenalan
saya yang satu ini sama sekali tidak puas dengan apa yang telah diraihnya
karena ia mepersepsikannya dari sudut pandang orang lain yang sering
berkomentar bahwa pekerjannya tidak sesuai dengan pendidikannya, atau
penghasilannya yang mungkin ia sendiri anggap belum cukup. Oleh karenanya, tak
jarang ia kemudian sangat terobsesi terhadap pekerjaan lain, yang terkadang
menuntut pengorbanan yang sedikit luar biasa.
Baiklah kemudian jika setelahnya,
ketika ia memperoleh pekerjaan yang lebih layak, harusnya ia memperoleh
kepuasan dan ketenangan yang sebelumnya tidak ia peroleh. Anehnya, ternyata tidak. Dengan penghasilan
yang lebih dari sebelumnya, serta pekerjaan yang dapat memberikan status sosial
yang lebih baik pula, ternyata ia tak kurang tertekan. Ia mendapati
lingkungannya masih memberikan beberapa pandangan negatif terhadapnya
menyangkut pekerjaannya seperti anggapan bahwa terdapat perubahan pada sikapnya
saat ini, serta pekerjaan yang ia sendiri merasa cukup melelahkan, dsb.
Lagi-lagi ia terlihat ada pada situasi yang terkesan depresi. Namun sepertinya
ia tak sadar bahwa ia tengah ‘bermasalah’. Dalam hal ini saya melihat,
sepertinya sang kenalan yang satu ini terlalu mendefinisikan kepuasan dari
sudut pandang orang lain. Ia bahkan tidak mengerti apa yang dirinya sendiri
inginkan, apa yang membuatnya puas, senang dan bangga sekalipun ia ada pada
posisi yang jauuuh lebih beruntung dari teman-teman sejawatnya. Saya
membayangkan, jika orang sepertinya harus stress, bagamana dengan saya dan setengah
manusia yang ada di bumi? Harus gilakah?
Jika berkaca pada sudut pandang psikologi eksistensialisme dan humanisme yang menekankan makna keberadaan manusia di dunia, penghargaan pada jiwa dan diri manusia, cinta, kreativitas, produktivitas, serta pemenuhan-aktualisasi diri, yang jika tidak mampu dipersepsikan dan dipenuhi dengan baik akan mengarahkan manusia pada alienasi, kecemasan dan ketakutan, kita akan memperoleh gambaran bahwa ternyata meskipun manusia memiliki kehendak bebas, namun tidak sedikit dari kita yang pada dasarnya tidak mengetahui makna keberadaan dirinya, sehingga kemudian tanpa sadar merasa teralienasi (terasing) dengan diri sendiri, dari lingkungan, agama, dsb. Mereka lalu menenggelamkan diri pada aktivitas ‘bersenang-senang’, narkotika, alkohol demi mengatasi rasa cemas yang mereka hadapi. Manusia seperti ini tidak mengetahui, apa yang sebenarnya mereka ingin capai, aktivitas apa yang sebenarnya berharga, bernilai, memberikan kepuasaan dan kebahagiaan bagi diri, bagaimana cara menyikapi secara pantas terhadap berbagai pengalaman yang mereka hadapi. Sehingga jangan heran jika kemudian manusia seperti ini tetap merasa cemas, tidak puas dan bahagia terhadap aktivitas-aktivitas yang selama ini dijalani, atas apa yang telah diraih, terhadap diri dan lingkungan. Bahkan setelah berusaha mengalihkan diri pada aktivitas ‘bersenang-senang’.
Berbeda dengan mereka yang bahkan
meskipun berada di dalam situasi yang tidak berpihak, namun mampu menjadi diri
yang berarti bahkan bagi orang lain. Hal ini akan mampu menjawab, mengapa Aung
San Suu Kyi yang menghabiskan 10 tahun hidupnya sebagai tahanan rumah Myanmar
menolak untuk meninggalkan negaranya sementara ia terus mendukung kembalinya
demokrasi dan hak asasi manusia di Myanmar, Martin Luther King Jr. yang
menghadapi anjing-anjing kepolisian, selang pemadam kebakaran, dan kaum rasis
Amerika untuk memenangkan reformasi hak kewarganegaraan, atau paling tidak
seperti yang dialami oleh Victor Frankl yang pernah dipenjara dalam kamp
konsentrasi Nazi, namun aspek psikologisnya selamat karena ia memilih untuk
mencari makna dari penderitaanya dan mengambil tanggung jawab untuk mengatur
sedikit bagian dari hidupnya yang tersisa, ia tidak menerima dan menuruti
begitu saja segala horor yang terjadi di sekitarnya, justru berusaha menjangkau
orang yang terbebani oleh keputusasaan dan kekosongan. Mereka adala orang-orang
yang mampu mencapai makna eksistensi manusia, tanggung jawab, cinta, dan
penguasaan diri.
Oleh karenanya, Carl Roger meyakini bahwa orang yang sehat secara
psikologis adalah mereka yang memilki konsep diri luas yang mampu memahami dan
menerima berbagai perasaan dan pengalaman. Ketidakmampuan menerima aspek
mengenai diri sendiri merupakan penghalang pertumbuhan pribadi. Rogers juga
menambahkan bahwa mereka yang memiliki kepribadian yang sehat dapat
mempercayai pengalamannya sendiri dan
menerima kenyataan bahwa orang lain berbeda dengan dirinya. Kecemasan
eksistensial dan konflik dari dalam diri sering kali muncul saat kita memakai
topeng dan berusaha mengikuti harapan orang lain.
Psikolog Tory Higgins, menulis tentang diri aktual (konsep diri saat ini), diri ideal (harapan, keinginan atau aspirasi), dan diri yang seharusnya (keyakinan mengenai kewajiban diri). Ketidakcocokan antara diri aktual dan diri ideal dapat mengakibatkan munculnya rasa tidak puas dan kecewa yang parah. Sedangkan jurang pemisah (diskrepansi) antara diri aktual dan diri yang seharusnya dapat menyebabkan munculnya rasa bersalah dan kecemasan akan kegagalan dalam mempertanggungjawabkan sesuatu. (Higgins, 1999; Higgins dan Spiegel, 2004). Emosi dan motivasi mungkin muncul dari diskprepansi ini.
Roy Baumesiter di sisi lain berusaha
mencoba menjelaskan mengenai “self”. Yang menarik, ia yakin bahwa usaha untuk
“menemukan diri sendiri” sebenarnya merupakan usaha untuk mencari hidup yang
bermakna, dan bahwa bukan harga diri yang
sebenarnya dituju. Bertentangan dengan apa yang dipercaya oleh orang
banyak, harga diri yang tinggi tidak harus memberikan hasil akademik yang baik
atau unjuk kinerja yang baik, juga tidak perlu selalu menyebabkan terciptanya
relasi sosial yang baik. Sebaliknya, orang-orang yang memperoleh hasil akademis
yang bagus akan merasa senang dengan diri mereka sendiri karena pemenuhan yang berhasi mereka capai (Baumeister, 2003).
Dalam hal ini, Baumeister ingin
mengatakana kepada kita bahwa, hal pertama yang harus ditemukan oleh manusia
sebelum pencapaian-pencapaian yang besar adalah “menemukan diri sendiri”. Dalam
psikologi ada banyak konsep yang menjelaskan mengenai Real Self serta berbagai upaya yang dapat dilakukan manusia agar ia
dapat menghargai dan menerima diri sendiri apa adanya, dengan segala kelebihan
dan kekurangan. Setiap orang tentu ingin memiliki hidupa yang bermakna, namun
tidak sedikit orang yang salah menetapkan acuan dan salah menjadikan sudut
pandang tertentu dalam menilai kebermaknaan dirinya. Seperti yang telah
dikatakan oleh Baumeister, bahwa harga diri dan kepuasan diri tidak selamanya
harus dikur oleh prestasi akademik atau hal-hal prestisius lainnya. Mengapa?
Kita belum tentu dapat menjadikan diri sempurna dan luar biasa seperti orang
lain. Di dunia ini, tidak semua orang dapat menjadi dokter atau insiyur, tidak
semua orang dapat menjadi pengusaha sukses dan kaya raya, tidak semua orang
dapat menjadi sosok populer yang dikagumi banyak orang, namun apakah kemudian kita adalah orang-orang yang gagal dan tidak
layak dihargai? Belum tentu.
Ada kalanya kita tidak dapat mencapai
hasil yang maksimal dan belum memuaskan banyak orang, padahal kita telah
berusaha untuk meraihnya semaksimal mungkin, atau mungkin apa yang sedang
berusaha kita capai ternyata tidak sesuai dengan minat dan bakat kita, bahkan
bisa jadi bukan yang terbaik bagi diri kita. Lalu kemudian kita sudah merasa
menjadi orang yang paling gagal sedunia. Di sisi lain, ada orang-orang yang sudah
luar biasa puas dengan apa yang telah mereka capai, padahal bagi orang lain itu
sama sekali bukanlah apa-apa. Oleh karenanya, Baumeister menyatakan bahwa
kebermaknaan diri harusnya didasarkan pada apa yang telah berhasil kita capai.
Dalam makna ini, seorang kaya raya, berpendidikan dan berkarier cemerlang,
memiliki keluarga dan kehidupan sosial yang ideal, yang tak mampu merasa puas
terhadap apa yang dicapai, maka sampai kapanpun tidak akan pernah merasa bahwa
kehidupannya bermakna. Demikian juga sebaliknya.
Hal ini secara tidak langsung juga
menyarankan kepada kita agar senantiasa memberikan apresiasi dan pujian
terhadap anak-anak dan orang-orang disekitar kita terhadap apa yang telah
mereka capai. Sehingga mereka dapat merasakan bahwa diri mereka dan apa yang
telah mereka peroleh benar-benar berarti dan tidak sia-sia. Kita tentu harus
selalu memotivasi diri dan orang-orang disekitar kita untuk menjadi lebih baik
dan menjadi orang-orang yang berhasil. Namun kita juga tentu harus mampu bijak
untuk menghargai sesuatu yang telah mati-matian kita usahakan dan capai, terserah bagaimanapun hasilnya.
Baumeister memberikan suatu gambaran
yang harus kita pertimbangkan, bahwa hidup tentu akan terus berubah (komunitas
kita, tujuan kita, pekerjaan kita, teman kita), namun pengertian yang akan kita
berikan pada hidup (idealnya) akan selalu konstan (yakni mengenai nilai diri
kita). Oleh sebab itu, menurut Baumeister, self
(atau arti hidup) paling baik didefinisikan sebagai kemampuan kita (1)
mencari tujuan hidup, (2) untuk membuat perbedaan, (3) untuk membenarkan
perbuatan, (4) untuk merasakan harga diri.
Semoga kita dapat selalu menjadi
pribadi yang konsisten dalam menilai diri secara berharga terhadap apapun yang
telah kita capai. Cukuplah bahwa syukur adalah sebaik-baiknya ungkapan atas doa
yang kita panjatkan.
(Sumber Teori: Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga.)
(Sumber Teori: Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga.)



Komentar
Posting Komentar