Di saat Facebook Lebih Tau Segalanya..
Kebetulan saat tulisan ini dibuat, wilayah tempat tinggal
saya tengah mendapat giliran mati lampu. Maklum, memang tengah musimnya, reaksi
terhadap PLN sendiri sudah bermacam-macam, mulai dari mengecam diberbagai media
sosial, opini di media massa, melapor pada Ombudsman, hingga demonstrasi
segala. Tapi OK lah, bukan hal itu yang ingin dibahas di sini.
Lalu, mengapa harus menyinggung-nyinggung Facebook segala?
Dosa apa ia?
Facebook itu hanya media sosial, tentu bukan ia atau
penciptnya yang berdosa—jikapun iya saya tak ingin sembarangan menghakimi atau
menjadikannya kambing hitam mungkin. Lalu bagaimana dengan penggunanya?
Masalahnya, Facebook seolah memang sedang menjadi kebutuhan. Fenomena saat ini,
jika kita bertemu atau berkenalan dalam konteks interaksi sosial, kita tidak
hanya sekedar ditanyai nama dan nomor HP saja, tapi juga Pin BB dan akun Facebook.
Orang-orang terkadang ‘dipaksa’ untuk memiliki akun Facebook jika tidak ingin
dianggap kuper atau ketinggalan, bahkan terhadap orang-orang yang awalnya gaptek
dan belum mengenal gadget. Dan pada akhirnya, ketagihan terhadap Facebookpun
melanda, bak virus yang mewabah. Saya sendiri termasuk yang rajin beraktivitas
di Facebook, hehehe..
Hanya saja, belakangan serasa ada hal-hal yang sudah cukup
mengganggu. Sebenarnya, problematika penggunaan teknogi informasi yang dalam
konteks kekinian sering mendapat kecaman karena telah menyebabkan disorientasi
hubungan dan interaksi sosial, sudah menjadi diketahui secara umum dan bukan
pembahasan yang baru lagi. Bahwa saat ini, orang akan dengan gampangnya
memberitahukan segala sesuatu hanya melalui media komunikasi, bahkan terhadap
persoalan-persoalan penting dan tak wajar, mengabaikan hal-hal yang awalnya
dianggap sangat sakral seperti silaturrahmi dan bentuk komunikasi langsung
lainnya.
Dan yang lebih menyedihkannya lagi, di saat kita mengetahui
situasi-situasi penting dan emergency
orang-orang terdekat kita justru melalui Facebook. Atau mungkin kita sendiri termasuk yang
lebih sering memberitahu pada Facebook segala hal yang sepantasnya diberitahu
secara langsung kepada orang yang bersangkutan, sekedar jangan sampai orang
yang bersangkutan dan orang-orang penting-terdekat yang ada disekitar kita
tidak merasa diabaikan dan tidak dihargai.
Bayangkan saja, seperti pengalaman saya pribadi, bisa-bisanya
saya mengetahui bahwa sahabat dekat saya menggelar acara pertunangannya dari
Facebook, mengetahui seseorang yang saya anggap penting tengah sakit dari Facebook,
teman yang baru pulang setelah sekian lama dari luar kota dari Facebook, teman
dekat yang ternyata tengah kesal dan kecewa
pada saya juga dari Facebook. Makanya, mengapa Facebook jadi lebih tau
segalanya mengenai informasi penting orang-orang terdekat saya, mengenai apa
yang orang rasakan terhadap saya, dibanding saya sendiri? Iri saya sama kamu
Facebook!
Lalu, apa sebenarnya motiv tindakan mereka? Lupa? Merasa
bahwa informasi, pikiran dan perasaan yang dimiliki tidak penting dan tidak
perlu diungkapkan langsung kepada orangnya? Tidak yakin akan memperoleh reaksi
yang pantas jikapun diutarakan langsung? Tidak berani, tidak nyaman, tidak
ingin menimbulkan masalah? Lalu buat apa di-share
di Facebook, apalagi bagi yang keseringan menggunakan majas-majas
hiperbola—alias suka menyindir (ini juga termasuk kebiasaan buruk saya lho sodara-sodara :p). Ingin mencari perhatian yang lebih luas, atau
apa?
Sedangkan orang yang melimpahkan segala macam curhat-curhat kegalauan,
kegilaan-kegilaan, protes dan kritik sosial politik mulai dari taraf ringan
hingga taraf yang sudah tak masuk akal lagi, bahkan pertengkaran, dan berbagai
jenis tindakan emosional lainnya, selama ini sesungguhnya bahkan telah menjadi
kritik sosial. Saya sendiri sudah sering mendengar—dan ikut tersadarkan—oleh
komentar dan status orang-orang di Facebook yang sepertinya sudah gerah dengan
perilaku-perilaku aneh manusia di jejaring sosial yang kemudia menyatakan,
“Tidak perlu mengumbar kesedihan dan kegalauan di Facebook, ga ada gunanya,
untuk apa memamerkan dan menujukkan pada semua orang kalau kamu lagi susah”
atau “Kalau lagi susah, ngadunya sama Tuhan donk, masa sama Facebook, emangnya
Facebook bisa ngasih solusi? Kayak orang yang ga punya Tuhan aja” atau
“Sekarang udah malas buka Facebook, isinya orang galau semua” dan
komentar-komentar sinis lainnya yang bernada sama.
Begitu juga di saat fenomena Upload foto tengah giat-giatnya dilakoni, sampai-sampai seorang teman saya berkomentar, Facebook itu
pada akhirnya menjadi sarana bagi ajang pamer ya. Baru jadi PNS, langsung foto
terus upload ke Facebook, pergi kemana aja ga lupa foto Cuma untuk upload di
Facebook ngasi tau orang-orang kalo kita udah pernah ke sana, setiap jumpa
orang—apa lagi kalau orang-orang penting dan populer—juga langsung foto, ada
peristiwa penting dan unik, gelar acara nikahan, sunatan, akikahan dan acara
bergengsi lainnya juga difoto dan kalo bisa dipamer selama tujuh hari tujuh
malam, punya pacar baru juga foto—sampe putusnyapun kita ga bakal lupa diinfoin, makanan
yang sedang disantap sampai-sampai kucing yang lagi lewat dijalanpun difoto,
hanya demi satu tujuan—diupload di Facebook. Belum lagi yang mau pub, yang mau
pipis, yang lagi lapar dan hal-hal ga penting lainnyapun diinformasikan di
Facebook, entah untuk keperluan apa, sekedar informasi mungkin ya. Hehehe....
Padahal, seperti yang dinyatakan oleh Yemima Lintang Khastiti dalam tulisannya “Narsis & Galau, Gaya Hidup atau Gangguan Jiwa?” memberikan pandangan yang lebih kritis namun solutif yakni:
Padahal, seperti yang dinyatakan oleh Yemima Lintang Khastiti dalam tulisannya “Narsis & Galau, Gaya Hidup atau Gangguan Jiwa?” memberikan pandangan yang lebih kritis namun solutif yakni:
“Tahukah kamu kalau semakin banyak orang narsis, makin banyak
pula teknologi yang dibuat untuk menunjang kenarsisan mereka? Tak percaya?
Lihat saja, tak sedikit produk teknologi dibuat dengan kamera dan perangkat
lain yang memudahkan penggunanya meng-upload foto atau update status dan tweet
di social media. Tak hanya itu, provider juga berebut mengeluarkan produk paket
termurah versi masing-masing untuk menunjang pengguna berakrab ria dengan
social media dan mengembangkan “bakat” narsis mereka. Semoga ini tak membuat
penderita NPD (Narcisstic Personality Disorder) makin banyak, ya!
Galau adalah produk dari kecemasan, sementara status Facebook
dan Twitter merupakan perilaku dari kecemasan itu. Kondisi tersebut bukan
termasuk gangguan kejiwaan, melainkan hanya berhubungan dengan kontrol dan
kestabilan emosi seseorang mengatasi kegalauannya. Agar tak terkesan labil,
reaksi kecemasan yang tadinya diwujudkan lewat status sebenarnya bisa diubah ke
hal yang lebih bermanfaat, misalnya mencoba satu hobi atau pekerjaan baru dan
berusaha menekuninya agar perhatian teralihkan; mencoba menelaah perasaan dan
mencari alasan rasional yang bisa mengurangi kecemasan; kemudian bisa juga
mengalihkan update status-mu ke sesi curhat pada sahabat agar terasa sedikit
ringan.”
Jangan salah, tulisan ini bukan sekedar bermaksud mengkritik
orang lain apalagi ingin menyebar perasaan sinisme saya. Karena saya pribadi
juga bukannya tak jarang kebablasan di jejaring sosial. Masih banyak perilaku
saya sendiri yang tak pantas dicontoh. Oleh karenanya, hal ini juga merupakan
kritik dan refleksi atas diri sendiri. Dan setidaknya, sedang merubahnya secara
perlahan. Sepertinya kita juga tak perlu sampai anti dengan dunia maya, dengan
jejaring sosial, karena pada dasarnya manusiawi sekali saat kita membutuhkan
sarana-sarana sosial penghubung yang jika dipergunakan dengan tepat akan
memberikan manfaat.
Karena bagaimanapun saya juga ikut terganggu ketika mengetahui
bahwa Narsistik adalah bagian dari
gangguan mental dan kepribadian, seperti yang dinyatakan oleh banyak
pakar Psikologi Kepribadian. Dalam beberapa tulisan yang saya baca seperti “Narsis: Gangguan Mental yang Kurag Dipahami”
dinyatakan bahwa:
“Bagi orang biasa, seorang narsis mungkin kelihatan begitu
percaya diri dan terampil. Dalam kenyataannya, dia menderita kekurangan percaya
diri yang sangat besar dan butuh suplai pujian, pujaan, dan kemuliaan dari
luar. Dr. Sam Vaknin adalah penulis Malignant Self-Love (Cinta Diri Sendiri
yang Membahayakan) menjelaskan bahwa setiap orang adalah seorang narsisis,
sampai tahap tertentu. Narsisisme adalah sebuah fonomena yang sehat. Perbedaan
antara narsisisme patalogist/penyakit dan yang sehat adalah tentu saja dalam
ukuran kenarsisan. Cara sederhana untuk mengenal gejala penderita gangguan
mental ini di dunia Facebook dan Twitter, yaitu si penderita TERLALU SERING
MENGGANTI FOTO PROFIL, SELALU MENGUPLOAD FOTO WAJAH SENDIRI dan AGRESIF DALAM
MENGOMENTARI PESAN DINDING atau STATUS. Selain itu, cara sederhana juga untuk
mengenal gejala penderita penyakit narsisisme ini yaitu SELALU MENULIS ARTIKEL
YANG BERLEBIHAN, MERASA DIRI PALING HEBAT, AROGAN SERTA KASAR DALAM
BERKOMENTAR, dan yang paling jelas adalah TERBIASA MERENDAHKAN ORANG LAIN.”
Dalam tulisan lain “Pengaruh Media Sosial terhadap
Kepribadian” lebih dalam lagi dinyatakan:
“Pernahkan Anda mendengar ada orang yang sehari-harinya
kelihatan pendiam tapi tulisan di blognya sangat keras mengkritik sesuatu dan ”suara”nya
terdengar tajam? Atau orang yang biasanya tidak pernah bicara tapi statusnya
banyak sekali dan jika diajak chat sangat menyenangkan? Mereka inilah
pelaku-pelaku yang dapat kita sebut mengalami perpecahan kepribadian di media
sosial (social-splitting personality).
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai fenomena terhadap orang-orang yang sedang
mencitrakan ulang dirinya melalui dunia kedua, yaitu media sosial. Dan dari
sanalah timbul perpecahan-perpecahan kepribadian karena ingin menciptakan citra
berbeda melalui media lain. Mereka karena suatu hal gagal mencitrakan diri yang
mereka inginkan di dunia nyata, akibatnya, dunia maya melalui medium media
sosial menjadi pelampiasan mereka.
Carl Rogers mengemukakan bahwa ada dua diri (self) dalam seseorang, yaitu real-self dan ideal-self. Real-self
dapat dijelaskan sebagai diri yang terbentuk dari dorongan untuk
mengaktualisasikan diri, sedangkan ideal-self
adalah diri yang terbentuk dari tuntutan-tuntutan masyarakat. Secara sederhana,
real-self adalah “I am” dan ideal-self adalah “I should”; jarak yang
terlalu jauh antara “I am” dan “I should” dapat menyebabkan psikopatologi
(gangguan jiwa). Persis seperti itulah fenomena social-splitting personality terjadi. Seseorang yang tidak dapat
menampilkan real-self mereka karena
banyaknya tuntutan lingkungan akan melampiaskannya pada media sosial dan
menjadi berbeda di alam maya.
Tulisan-tulisan tersebut setidaknya juga dapat menjawab
sedikit keanehan saya terhadap beberapa teman—atau mungkin juga termasuk saya sendiri—yang
terlihat over-reactive pada
status-status yang mereka buat mengenai protes dan kritik terhadap situasi
sosial-politik. Mereka terkesan ‘terlalu rajin’ dalam merespon segala hal,
bahkan terhadap hal-hal sepele. Ketika saya menanyakan pendapat seorang teman
yang kebetulan tidak terlalu aktif di Facebook mengenai hal tersebut, ia
menanggapi dengan cukup bijak sih, bahwa pada dasarnya hal tersebut adalah
normal dan wajar karena sebenarnya ia tengah tidak tau melampiaskan kemana
segala kekecewaan terhadap situasi sosial politik yang tengah kacau. Hanya saja
terkadang hal tersebut juga menjadi pelampiasan terhadap emosi-emosi pribadi
yang sebenarnya tidak perlu, misalnya situasi kesulitan tertentu yang ia hadapi
namun ia juga melampiaskan kesalahan tersebut pada situasi, padahal situasi
yang ia hadapi ada kalanya dapat diatasi atau paling tidak dapat direspon
dengan usaha lain, tidak sekedar dengan reaksioner di Facebook. Revolusi sosial
tidak cukup hanya dilakukan melalui berkoar-koar di jejaring sosial. Lagi-lagi,
Facebook lebih mengetahui segala isi hati, keluhan, protes, kritik dan saran
warga negara dibanding siapapun. Hehehe...
Sebelum mengakhiri, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya terhadap berbagai pihak yang mungkin merasa tersinggung dikarenakan tulisan ini. Maaf ya.. :)
SEMOGA KITA DAPAT MENJADI LEBIH BIJAKSANA..



Komentar
Posting Komentar