Bioskop Syariat

Sebagian besar masyarakat Aceh tentu mengetahui, bahwa dahulunya bioskop pernah Berjaya di Aceh. Bioskop Garuda, Merpati, Gajah, PAS 21 merupakan sederetan nama bioskop yang cukup populis pada eranya. Bahkan sebelum Tsunami, Bioskop Gajah masih sempat beroperasi di Kota Banda Aceh. Namun malangnya, Aceh kini justru menjadi satu-satunya provinsi yang tidak dapat merasakan nikmatnya menonton via bioskop.

Larangan terhadap keberadaan bioskop di Aceh sangat identik dengan penegakan syariat Islam. Hal ini didasarkan pada ketakutan bahwa keberadaan bioskop di Aceh akan menimbulkan potensi besar terhadap timbulnya khalwat. Namun anehnya, selama ini justru terdapat berbagai tempat hiburan yang sesungguhnya juga berpotensi untuk menimbulkan khalwat namun tidak dipermasalahkan. Sebut saja tempat karaoke, bar dan tempat hiburan lainnya seperti yang terdapat di hotel-hotel, bahkan sejak jauh hari sudah terdapat bioskop-bioskop mini di berbagai tempat. Lalu, masih relevankah syariat Islam menjadi alasan pelarangan bioskop di Aceh?

Sesungguhnya sama sekali tidak ada maksud untuk menentang penegakan syariat Islam di Aceh. Hanya saja, penegakan syariat Islam yang selama ini mendapat banyak kritikan karena kurang efektif dan terkesan hanya pada hal-hal yang bersifat simbolis, jangan sampai juga menjadi penghambat bagi kemajuan Aceh dan masyarakatnya. Penegakan syariat Islam selayaknya diperuntukan bagi persoalan-persoalan mendasar yang lebih urgen di dalam masyarakat seperti penentasan kemiskinan, korupsi, pendidikan, kesehatan dan lainnya, tidak hanya bertumpu pada persoalan-persoalan pakaian, khalwat dan pelarangan-pelarangan fasilitas publik yang sesungguhnya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Seperti ungkapan Fozan Santa suatu ketika dalam Diskusi Lokal Aceh, Lokal Arab: Meneguhkan citra Islam dalam Budaya Lokal, “Semua harus punya cap stempel formal syariat: dari makanan sampai wisata. Dari bank sampai jurnalisme. Sementara ini kalau kita bicara syariat Islam kita cenderung memahami fiqih/hukum Islam. Maka Islam menjadi sempit. Cuma urusan ini boleh itu tidak. Kalau sudah hukum cambuk dijalankan, seolah sah kita merasa beragama Islam walaupun si terhukum sudah lebih dulu masuk penjara dalam tempo lama sebelum dicambuk. Rentan konflik horizontal. Jadi seolah-olah siapa saja ingin beraktivitas dan berusahadi Aceh hari ini mesti pakai emblem syariat. Siapa tahu nanti ada Salon Syariat, Warkop Syariat, Wisata Syariat, Marathoh Syariah, Ayam tangkap Syariat, dan sebagaianya.”

Oleh karena itu, sepertinya tak menjadi masalah jika nantinya akan ada bioskop syariah di Aceh. Artinya, bagaimana ketakutan akan terjadinya khalwat dapat diantisipasi dan dicarikan solusi melalui penetapan berbagai mekanisme, seperti adanya pemisahan antara penonton pria dan wanita atau adanya pengawalan ketat oleh WH sepanjang pemutaran film, perolehan sanksi bagi yang melanggar dan antisipasi-antisipasi lainnya yang dapat diterapkan.

Bioskop sebagai Kebutuhan
Didirikannya bioskop di Aceh layak untuk diperhitungkan jika kita mampu melihat kondisi masyarakat Aceh yang sangat haus akan hiburan dan memiliki minat yang tinggi terhadap seni dan budaya lewat tontonan. Lihat saja betapa padatnya tempat-tempat wisata dan hiburan, berbagai pertunjukan dan konser, bahkan pusat-pusat perbelanjaan pun menjadi tempat untuk sekedar hang-out atau cuci mata. Terkait kebutuhan hiburan terhadap tontotan dapat terlihat dari tingginya minat masyarakat terhadap pembelian dan penyewaan DVD mulai dari yang original hingga yang bajakan.

Namun persoalan tontonan sesungguhnya bukan hanya terkait sebagai hiburan semata. Banyak orang yang mungkin tidak menyadari bahwa tontonan—sejenis film misalnya—dapat menjadi sarana bagi manusia untuk memperoleh informasi tentang berbagai persoalan kehidupan, sosial, budaya, politik, ekonomi, teknologi, pendidikan, rumah tangga, dsb. Tidak sedikit dari kita yang kemudian dapat memahami kebudayaan dan situasi dari suatu masyarakat dan negara melalui film yang ditonton. Dengan ini, film sesungguhnya dapat menjadi sumber insipirasi, pengetahuan dan pengalaman, apa lagi ketika kini terdapat sejumlah film yang menunjukkan kehebatan dan kemajuan di berbagai bidang di suatu negara. Sangat disayangkan ketika  bioskop tidak ada di Aceh, hanya demi menonton pemutaran perdana berbagai film, sebagian dari kita harus jauh-jauh ke luar daerah.

Film dan berbagai jenis tontonan lainnya juga dapat menjadi sarana untuk mengekspresikan diri dan menikmati seni. Tingginya minat masyarakat Aceh terhadap perfilman pada akhirnya telah memicu semangat dari berbagai kalangan untuk berkreasi melalui film. Sebut saja Empang Breuh, Leumak Mabok dan serial komedi karya aneuk Aceh lainnya. Alhasil, masyarakat Aceh dapat menikmati dengan bangga hasil kreativitas seni dan hiburan daerah sendiri. Oleh karena itu timbul suatu keyakinan, jika terdapat berbagai sarana dan fasilitas pendukung perfilman lainnya seperti bioskop, maka tentu akan menjadi penyemangat terhadap apresiasi dan kreativitas pelaku dan penikmat seni sendiri.

Bahkan yang sangat disayangkan, ketika masyarakat Aceh tidak dapat menikmati pemutaran perdana film-film berskala nasional yang berlokasi shooting di Aceh atau yang mengangkat tentang kisah, peristiwa dan kehidupan masyarakat Aceh seperti Hafalan Shalat Delisa, dan film-film lainnya.

Di sisi lain, bioskop tidak serta merta hanya berfungsi sebagai tempat untuk menonton. Sebagai fasilitas publik, bioskop juga dapat menjadi tempat untk berinterkasi, bertemu, berkumpul dan bersosialiasi.  Hal ini mengingat karakter masyarakat Aceh yang suka dengan keramaian dan bersosialisasi--tak heran mengapa warung kopi dan fasilitas publik lainnya tak pernah sepi di Aceh.

Pembangunan bioskop juga akan sangat bermanfaat terhadap aspek ekonomi dan pariwisata, terutama di Kota Banda Aceh. Dengan adanya bioskop di Aceh, tentu akan memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah, lapangan kerja dan berbagai usaha terkait. DPRK Banda Aceh sudah menyetujui dan merekomendasikan rencana pembangunan Hotel dan Mall, karena dinilai positif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kota Banda Aceh dan sangat positif untuk mendukung konsep Banda Aceh sebagai bandar wisata Islami (Harian Aceh, 23 Desember 2011). Dengan ini, pemerintah seharusnya tak punya alasan untuk tidak mendukung keberadaan bioskop di Aceh.

Para pengambil kebijakan diharapkan untuk menaruh perhatian pula pada permasalahan ini. Mengingat karakteristik masyarakat kota Banda Aceh terutama serta kontribusi yang diberikan bagi berbagai aspek, rasanya tidak terlalu berlebihan jika kita mengaharapkan hadirnya bioskop di Aceh. Mungkin bagi sebagian orang, keberadaan bioskop memang tidak penting, namun bagi sebagian masyarakat lainnya yang haus akan hiburan, penikmat seni dan budaya serta berbagai pihak lainnya yang akan memperoleh keuntungan, keberadaan bioskop di Aceh akan sangat berharga dan dinanti-nanti. Begitu besar harapan agar keberadaan berbagai tempat hiburan tidak hanya dipandang sinis dan sebelah mata, terutama ketika dampak negatif terhadap keberadaan bioskop dan berbagai tempat hiburan dapat diantisipasi melalui berbagai pengaturan yang dijalankan dengan komitmen dan konsisten.


Komentar

  1. Ulasan yang sangat menarik, topik ini memang mulai sering diperbincangkan. Seakan kerinduan masyarakat kota Banda Aceh terhadap bioskop sudah muncul kembali. Namun yang masih menjadi pertanyaan saya, apakah masih ada solusi terbaik untuk merencanakan sebuah bangunan bioskop selain harus memisahkan penonton pria dan wanita? mengingat hal ini sudah pernah diterapkan di awal pemberlakuan syariat,namun malah mengurangi minat pengunjung. akhirnya pengusaha pun gulung tikar. Memang adanya syariah untuk menjauhkan umat dari kemudharatan, Tapi tetap harus ada solusi yang lebih kuat agar mereka (para pengusaha) yakin untuk kembali menghadirkan Bioskop di Banda Aceh.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer