Berharap 'Keramahan' Sosial




Dunia sosial itu terkadang terkesan kejam juga ya. Sebagai bagian dari suatu komunitas atau kelompok sosial, kita dituntut untuk menjadi seorang konformis—menjadi individu yang melakukan tindakan sesuai dengan harapan dan tuntutan sosial. Rasanya kita tidak pernah ditanya tuh, sanggup atau tidak menjadi seseorang konformis. Memang demikian resiko dalam menjalani kehidupan sosial, kalau komunitas senang, kita akan diterima; kalau ga ya siap-siap didepak.

Padahal sosiologi sendiri sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat secara luar dalam sudah berusaha tolerir dan berusaha mengembangkan teori yang memahami aspek-aspek individualitas, dimana meskipun tidak selalu memposisikan diri dari sudut pandang individu-sentris, namun berusaha menganalisa secara lebih spesifik penyebab dan solusi terhadap pribadi-pribadi yang dianggap menyimpang. Tidak melulu seperti pada teori Struktural-fungsionalis misalnya yang menganggap bahwa masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang saling berhubungan, saling terintegrasi dan fungsionalis demi menciptakan keteraturan di dalam masyarakat. Dalam hal ini, individu harus menjadi seorang konformis yang mengikuti nilai dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat agar keteraturan hidup terjamin. Sebenarnya ga ada yang salah sih dengan cara pandang itu. Tapi manusia itu kan juga bukan robot.

Dalam realitas, terutama budaya ketimuran, memang demikianlah adanya. Ada kalanya kita salah bukan karena kita benar-benar telah melakukan kesalahan, tapi karena kita menentang nilai, sistem dan budaya yang telah mengakar dalam kehidupan sosial—yang belum tentu mutlak kebenarannya. Kita juga pasti sudah sering mendengar, sebenar apapun kita merasakan bisikan hati nurani kita, namun dengan seketika bisa menjadi salah jika itu bertentangan dengan nilai dan keyakinan orang banyak.

Dalam hal ini, kontradiksi individu lagsung tak punya tempat. Bahkan di saat kita merasa absurd dan bingung, mengapa tiba-tiba kita disisihkan, dijauhi, diabaikan oleh komunitas dan kelompok sosial tertentu terhadap tindakan kita yang tanpa mereka tanyakan sebabnya, dianggap tidak sesuai dengan harapan kelompok.

Masalahnya, dunia sosial dan kemasyarakatan merupakan salah satu tempat bagi individu dalam mengidentifikasikan diri (self). Artinya, pembentukan self dan kepribadian diri secara utuh akan kita dapati melalui pemahaman kita mengenai posisi dan peran kita di dalam masyarakat. Oleh karenanya, manusia bahkan terkadang tidak dapat dianggap sebagai manusia seutuhnya tanpa berbaur dan tanpa menjadi manusia yang diinginkan oleh dunia sosial. Sederhananya, siapa kita adalah apa yang orang lain lihat dan nilai tentang kita. Namun, bayangkan saja jika suatu ketika baik secara sadar atau tidak, sengaja atau tidak, terpaksa atau tidak, kita melakukan tindakan yang kurang konformis, apa lagi taraf penyimpangan, lalu kita langsung distigmakan negatif, buruk, jahat, musuh masyarakat, dsb. Pada saat bersamaan, kita juga akan memandang diri kita sesuai dengan anggapan-anggapan buruk tersebut bahkan meskipun kita sendiri kurang setuju dan tak memahaminya. Dampak terburuknya bermacam-macam: mengasingkan diri, melakukan tindakan-tindakan yang destruktif terhadap diri, gangguan kepribadian atau malah sakit jiwa, hingga taraf bunuh diri.

Apakah dunia sosial kemudian hanya dengan gampangnya menyatakan “Itu salahnya sendiri.”??

Andai saja suatu saat nanti, kehidupan dapat berjalan dengan lebih seimbang, antara kehidupan sosial yang bersedia toleran dan mempertimbangkan perilaku individu, selayaknya kita yang selalu berusaha sebaik mungkin menjadi makhluk sosial di atas segala individualitas kita.

Komentar

Postingan Populer