Ini Dia Kelompok Politik Primitif
**Dimuat di Harian Serambi Indonesia (11 Februari 2014)
Masyarakat Primitif
Hal yang perlu diketahui adalah bahwa metode pengklasifikasian berupa in-group dan out merupakan metode yang digunakan oleh Sumner untuk mengklasifikasikan jenis masyarakat primitif. Sumner dengan gambling mengemukakan bahwa masyarakat primitif memiliki kecenderungan terbesar terhadap pola sikap dimana in-group feeling yang sangat kuat dan mengarah pada sikap persahabatan, keteraturan, kerjasama dan perdamaian terhadap sesama, sedangkan terhadap out-group dengan frontal cenderung memiliki sikap permusuhan, kebencian, perang, perampokan bahkan diwariskan dari suatu generasi ke generasi yang lain dan menanamkan kewajiban untuk merampok, memperbudak dan membunuh anggota kelompok out-group.
Dalam berbagai studi
kemasyarakatan, berbagai ahli telah menaruh banyak perhatian terhadap kelompok
sosial, dimana mereka melakukan klasifikasi terhadap jenis-jenis kelompok yang
terdapat di dalam masyarakat. Robert Bierstedt misalnya, mengklasifikasikan
kelompok masyarakat ke dalam empat jenis kelompok, yakni kelompok asosiasi,
kelompok sosial, kelompok kemasyarakatan dan kelompok statistik. Ferdinand Tonnies
mengklasifikan ke dalam gemeinschaft (society)
dan gesselschaft (community),
sedangkan Robert K.Merton mengklasifikasikan ke dalam membership group dan reference
group, serta pengklasifikasian oleh berbagai ahli sosiologi lainnya.
Salah satu bentuk pengklasifikasian
terhadap kelompok masyarakat yang menarik untuk diulas adalah suatu
pengklasifikasian yang diperkenalkan oleh W.G Sumner berupa In-Group dan Out-Group. Sumner menjelaskan bahwa di dalam masyarakat terdapat kecenderungan
diferensiasi berupa kelompok kita (we-group)
atau kelompok dalam (in-group) dengan
orang lain: kelompok orang lain (others-group)
atau kelompok luar (out-group). Dalam
hal ini, anggota kelompok dalam menganggap
kelompok mereka sendiri sebagai pusat segala-galanya dan sebagai acuan
kelompok luar. Sebagai contoh, Sumner mengacu pada orang Yahudi yang menganggap
diri mereka sebagai “bangsa terpilih”, orang Yunani dan Romawi yang menganggap
semua orang luar biadab (Kamanto Sunarto, 2004:130-131).
Klasifikasi Sumner ini hingga saat
ini masih dijadikan acuan oleh para sosiolog dalam menganalisa gejala problema
masyarakat yang berkembang saat ini. Zanden (1979) menguraikan penelitian
Muzafer Sherif yang di dalamnya terdapat dua kelompok remaja yang berkemah
bersama dibangkitkan rasa permusuhannya sehingga masing-masing kelompok
mengembangkan perasaan kelompok dalam (in-group feeling) yang kuat serta
permusuhan terhadap kelompok luar.
Perasaan Kelompok
Hasil penelitian Sherif tersebut dapat kita gunakan untuk menjelaskan rangkain perkelahian antara siswa berbagai sekolah lanjutan atas dan antara mahasiswa berbagai fakultas yang telah sekian lamanya melanda masyarakat kita. Perasaan kelompok dalam yang sangat kuat merupakan salah satu faktor penyebab mengapa konflik antarsiswa sekolah bahkan mampu berkembang menjad tindak pidana seperti perusakan harta benda, penganiayaan dan hingga pembunuhan.
Perasaan Kelompok
Hasil penelitian Sherif tersebut dapat kita gunakan untuk menjelaskan rangkain perkelahian antara siswa berbagai sekolah lanjutan atas dan antara mahasiswa berbagai fakultas yang telah sekian lamanya melanda masyarakat kita. Perasaan kelompok dalam yang sangat kuat merupakan salah satu faktor penyebab mengapa konflik antarsiswa sekolah bahkan mampu berkembang menjad tindak pidana seperti perusakan harta benda, penganiayaan dan hingga pembunuhan.
Bukan hanya dalam gejala sosial,
dalam bidang politik pun, kasus permusuhan in-group
dan out-group ternyata telah
menggejala. Kita pasti telah sering melihat terdapat kelompok-kelompok politik
tertentu—yang biasanya atas landasan kepentingan dan motiv yang cukup besar
terhadap kekuasaan—menganggap kelompoknya sebagai kelompok politik yang paling
unggul dan paling layak berkuasa. Pada dasarnya, bukanlah hal yang asing di
dalam perpolitikan ketika setiap kelompok mengkampanyekan dirinya sebagai
kelompok yang paling hebat. Semua kelompok politik harus mencari landasan yang
kuat bagi keberadaan mereka dalam politik melalui simpati dan dukungan
masyarakat. Jika mereka tidak mampu merasionalkan masyarakat bahwa kelompok
mereka adalah kelompok terbaik, maka tentu harus segera siap-siap untuk angkat koper.
Namun situasi persaingan antarkelompok
politik yang ada tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada kalanya, persaingan
yang terjadi mengarah pada tindakan-tindakan fatal. Yakni ketika terdapat
anggota kelompok yang memiliki pola sikap cukup fanatik terhadap kelompoknya
sendiri, menanamkan feeling in-group
yang cukup dalam, merasa kelompoknya sebagai satu-satunya kelompok politik
paling unggul sedangkang kelompok lainnya seolah musuh politik yang harus
dilenyapkan bagaimanapun caranya. Hal ini tentu harus diwaspadai karena
persaingan politik tidak mengharuskan antarkelompok menjadi musuh politik yang
saling menghancurkan apa lagi hingga taraf-taraf tindakan yang tak pantas dan
melangar hukum.
Adalah wajar jikapun suatu kelompok
politik merasa dirinya paling unggul ketika nilai lebih yang ada padanya
didasarkan pada kapasitas-kapasitas objektif yang patut dibanggakan pada
dominan anggotanya, program dan visi strategis yang layak untuk ‘dijual’ dan
memiliki track record yang cukup
ideal—minimal tidak cacat. Namun permasalahannya, yakni ketika sebagian
kelompok merasa paling hebat hanya dikarenakan faktor-faktor seperti mitos
sejarah, nilai dan keyakinan subjektif
serta simbol-simbol feodalistik tertentu. Konsep berpikir yang jauh dari
ciri manusia modern.
Permasalahan lain timbul ketika in-group feeling yang telah terlalu
dalam dimiliki sebuah kelompok dibarengi oleh kepemilikan terhadap kekuasaan
yang terpusat dan berlebihan (over power)
sehingga memicu dan menjadi alat ampuh baginya untuk dengan mudahnya
menyingkirkan kelompok lain. Bertrand Russel dalam bukunya Principles of Social Reconstruction mengembangkan sebuah analisa
mengenai kekuatan yang terpusat menggunakan analisa psikologi mengenai sifat
manusia. Russel menyatakan bahwa orang-orang yang menyandang over power biasanya tidak mampu
melakukan perundingan persahabatan dengan pihak lain. Pembengkakan kekuatan
akan memperdalam nafsu atau naluri untuk berkonflik, oleh karena itu pihak yang
over power akan lebih suka bermusuhan
dan berperang daripada yang kekuasaannya tersebar secara merata.
Tentu saja sikap kelompok Yahudi
yang merasa paling unggul ditambah dengan kepemilikikan kekuatan dan kekuasaan
yang terlalu besar sehingga menjadi dasar untuk menyingkirkan kelompok lainnya
yang dianggap menganggu kepentingan dan dianggap mengancam eksistensi mereka
sebagai ras paling hebat. Demikian halnya sikap kelompok Nazi Jerman serta ras
Arya yang berperilaku sama hingga melakukan genosida terhadap kaum Yahudi,
merupakan pola sikap immoral yang tidak pantas dijadikan contoh karena cenderung
mengarah pada perilaku menyimpang dan psikologi politik yang abnormal. Faktor lain yakni frustasi-agresi, seperti yang dikemukakan oleh Banton (1967), dapat
menjadi dasar prasangka untuk bertikai dengan kelompok lain, dimana suatu
kelompok akan melakukan agresi manakala usahanya untuk memperoleh kepuasan
terhalang, baik terhadap kelompok yang secara langsung menghalangi
kepentingannya atau terhadap kelompok lainnya yang dijadikan kambing hitam.
Dalam bidang politik, kecenderungan
pola hubungan dan sikap yang demikian semakin terlihat jelas. Dimana ketika
terdapat suatu kelompok politik tertentu yang baik secara terang-terangan
maupun terselubung menggunakan cara-cara berupa intimidasi, kekerasan fisik,
pengrusakan terhadap fasilitas bahkan hingga taraf pembunuhan terhadap anggota
kelompok lain. Secara politis, suatu kelompok bahkan menggunakan cara-cara
inkonstitusional sebagai upaya menghadang kelompok lain untuk memperoleh hak
politik yang setara melalui mekanisme hukum yang bertentangan dengan
nilai-nilai demokratis.
Masyarakat Primitif
Hal yang perlu diketahui adalah bahwa metode pengklasifikasian berupa in-group dan out merupakan metode yang digunakan oleh Sumner untuk mengklasifikasikan jenis masyarakat primitif. Sumner dengan gambling mengemukakan bahwa masyarakat primitif memiliki kecenderungan terbesar terhadap pola sikap dimana in-group feeling yang sangat kuat dan mengarah pada sikap persahabatan, keteraturan, kerjasama dan perdamaian terhadap sesama, sedangkan terhadap out-group dengan frontal cenderung memiliki sikap permusuhan, kebencian, perang, perampokan bahkan diwariskan dari suatu generasi ke generasi yang lain dan menanamkan kewajiban untuk merampok, memperbudak dan membunuh anggota kelompok out-group.
Masyarakat modern akan mengembangkan
hubungan antarkelompok ke arah perdamaian, integrasi, pluralisme, toleransi, fair play, dan demokratis. Kita tidak
mungkin dapat menghilangkan unsur perbedaan di dalam kelompok masyarakat. Namun
bukan saatnya lagi menggunakan kekerasan, prasangka, antagonis apalagi upaya
penyingkiran paksa terhadap kelompok lain atas dasar kepentingan apapun, karena
kita bukan lagi jenis masyarakat primitif.




Komentar
Posting Komentar