Kekerasan Atas Nama Cinta
***Dimuat di majalah POTRET Edisi 51 tahun 2011
Manusia sebagai makhluk sosial pasti akan berinteraksi dengan manusia lainnya demi mencapai sejumlah kebutuhan yang tak mampu dipenuhinya sendiri. Dari sekian banyak kebutuhan manusia adalah kebutuhan psikis terhadap afeksi atau kasih sayang, yang kemudian termanifestasi ke dalam berbagai bentuk interaksi dan hubungan sosial, termasuk diantaranya adalah hubungan antara sepasang kekasih, baik itu pacaran maupun hubungan suami istri dalam skup legal.
Ya...hubungan antara sepasang kekasih memang merupakan suatu bentuk interaksi sosial sebagai salah satu sarana bagi manusia untuk memenuhi dan menyalurkan kebutuhan-kebutuhan dan watak dasar manusia terhadap cinta dan kasih sayang. Kebutuhan dalam hubungan ini juga disinyalir sebagai salah satu kebutuhan pokok psikis manusia untuk menyalurkan berbagai beban kejiwaan manusia yang terdapat di dalam dirinya. Karena selama manusia hidup, ia tak akan pernah lepas dari berbagai persoalan yang dapat membawanya pada tekanan-tekanan batin bahkan fisik. Oleh karenanya manusia memerlukan suatu sarana penyaluran beban-beban tersebut baik melalui aktivitas-aktivitas yang digemari, mendekatkan diri kepada Tuhan, termasuk melakukan komunikasi intens dan mencurahakannya pada manusia lainnya secara berkala, hingga timbullah hubungan persahabatan dan pacaran.
Namun yang menjadi permasalahan besar adalah ketika hubungan pacaran atau suami istri yang secara orientasi merupakan kebutuhan atas interaksi sosial, komunikasi yang intens dan mendalam serta penyaluran beban-beban kejiwaan justru disorientasi menjadi sarana terhadap berbagai tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun psikis.
Dalam hal ini, tak pelak kaum perempuanlah yang menjadi pihak yang paling dirugikan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pada dasarnya, relasi antara laki-laki dan perempuan sudah terkonstruksi secara tidak seimbang di dalam kehidupan masyarakat, dimana ketika perempuan distereotipe kan sebagai makhluk yang lemah, rendah kognitif dan rasionya, serta tak akan mampu melakukan apapun dan tak akan mampu berdiri sendiri tanpa ditopang oleh laki-laki, sehingga timbullah strata yang mensubordinasikan perempuan untuk berada di bawah laki-laki. Permasalahan yang timbul akibat ini sebenarnya cukup serius namun sayangnya sering diabaikan, apa lagi ketika hal tersebut dianggap sebagai kodrat.
Dampak buruknya adalah ketika kondisi tersebut juga termanifestasi ke dalam hubungan pacaran maupun suami istri. Posisi yang menyebabkan perempuan berada di bawah kedudukan laki-laki, tak sedikit membawa kerugian pada perempuan di dalam hubungan yang ada. Posisi yang tidak setara menyebabkan sebagian laki-laki melakukan dominasi terhadap perempuan. Ditambah lagi ketika terdapat berbagai kondisi yang menyebabkan relasi ketergantungan oleh perempuan terhadap laki-laki. Terutama kondisi perempuan relatif lebih sensitive dalam hal perasaan dan memiliki ketergantungan yang lebih dalam hal perhatian terkadang membuat laki-laki tanpa segan melakukan ancaman-ancaman seperti akan ditinggalkan atau akan diputuskan apa bila perempuan tidak menuruti keinginannya atau tidak menjadi seperti yang diharapkannya. Belum lagi ketika kondisi ekonomi laki-laki lebih mapan dibandingkan perempuan dan menyebabkan ketergantungan secara ekonomi oleh perempuan terhadap laki-laki. Kondisi ini tak jarang menyebabkan lahirnya tindakan sewenang-wenang dari laki-laki terhadap perempuan.
Di sisi lain, ketika hubungan tersebut merambah pada tindakan-tindakan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan biologis dan seks dimana terdapat sejumlah pasangan yang melakukan hubungan seksual baik secara semi maupun hingga taraf persenggamaan di luar nikah. Hal ini terlepas dari aspek legal atau haram-tidaknya. Bila hubungan yang dilakukan atas dasar suka sama suka sehingga pihak perempuan tak begitu peduli dengan kondisinya yang sudah ‘tidak suci’ lagi, mungkin akan berbeda kondisinya. Namun tak jarang hubungan seksual tersebut dilakukan atas bujukan bahkan paksaan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan cara menghipnotis dengan sejumlah janji-janji dan berbagai ancaman yang membuat pihak perempuan mau tak mau harus menuruti keinginan sang pacar. Kondisi ini kemudian menyebabkan perempuan yang telah hilang setengah atau seluruh keperawanannya berada pada posisi ketergantungan dan ketakutan akan ditinggalkan yang lebih parah dari sebelumnya. Buruknya adalah ketika kondisi ini dimanfaatkan oleh laki-laki untuk bebas menyakiti perempuan. Mereka seolah sadar sang perempuan tak akan melawan atau berpaling karena kondisi sang perempuan yang sudah ‘tidak suci’ lagi. Hal ini disebabkan karena budaya di dalam masyarakat akan mencap buruk terhadap perempuan yang kedapatan sudah tak perawan lagi di luar hubungan pernikahan, sehingga lahir ketakutan tidak ada laki-laki lain yang bersedia menjadi pasangannya dan sang perempuan akan menanggung aib seumur hidup, sedangkan laki-laki tidak.
Atas segala ketergantungan akut tersebut, tak jarang menyeret perempuan untuk berada di dalam kondisi yang sangat tertindas atas nama cinta di dalam hubungan. Mereka harus rela tertekan perasaan dan psikis, rela mengalami tindakan kekerasan, bahkan tak jarang yang harus rela dan pasrah menanggung sakit karena pasangannya selingkuh dengan perempuan lain, dan atas segala tindakan apapun lainnya yang ia terima. Namun seolah-olah perempuan tak punya pilihan lain selain ikhlas menerima semua perlakuan tersebut dengan ketakutan akan ditinggalkan oleh pasangannya.
Dalam hal ini, perempuan selayaknya mulai mempertegas posisinya di dalam hubungan. Tuhan tentu tidak akan merubah nasib suatu kaum jika mereka sendiri tidak mengubahnya. Demikian juga dengan kaum perempuanya yang nasibnya sama sekali tak akan pernah berubah jika mereka sendiri tidak melawan keadaan tersebut.
Perempuan sendiri harus memiliki bargaining position yang harus dibentuk dari awal menjalani hubungan. Sejak permulaan, hubungan selayaknya dibentuk oleh kesamaan pandangan tentang hak masing-masing pihak yang kemudian dimanifestasikan ke dalam sebuah kesepakatan atau aturan-aturan yang disepakati bersama tentang apa yang layak atau tidak layak dilakukan di dalam hubungan kelak, disertai dengan sanksi atau tindakan yang diperoleh terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap komitmen atau kesepakatan. Hal ini menjadi penting, karena hidup yang tanpa aturan hanya akan meyeret pada keadaan siapa yang kuat maka ia yang berkuasa hingga akhirnya melakukan tindakan sewenang-wenang.
Permasalahan dalam suatu hubungan pun selayaknya diselesaikan dengan sebuah mekanisme tanpa adanya pihak yang harus selalu dirugikan atau tanpa harus ada salah satu pihak yang selalu dianggap sebagai pusat kesalahan hingga akhirnya menjadi pusat pelampiasan, terutama terhadap perempuan.
Karena seperti yang dinyatakan di awal, cinta adalah perasaan yang teraplikasi pada perbuatan dan tindakan yang saling menyayangi, saling menghargai, tidak saling menyakiti, tidak saling possessive dan mengekang apa lagi mengkhianati. Tanpa kesemuanya itu, cinta sama sekali tidak ada artinya. Perempuan sendiri selayaknya tidak perlu takut untuk meminta posisi yang setara dan adil dalam sebuah hubungan. Dan perempuan juga harus menyadari bahwa laki-laki yang menyatakan mencintainya tapi justu malah selalu menyakiti dan menindas psikis dan fisik anda, sesungguhnya laki-laki tersebut tidak mencintai anda.
Ya...hubungan antara sepasang kekasih memang merupakan suatu bentuk interaksi sosial sebagai salah satu sarana bagi manusia untuk memenuhi dan menyalurkan kebutuhan-kebutuhan dan watak dasar manusia terhadap cinta dan kasih sayang. Kebutuhan dalam hubungan ini juga disinyalir sebagai salah satu kebutuhan pokok psikis manusia untuk menyalurkan berbagai beban kejiwaan manusia yang terdapat di dalam dirinya. Karena selama manusia hidup, ia tak akan pernah lepas dari berbagai persoalan yang dapat membawanya pada tekanan-tekanan batin bahkan fisik. Oleh karenanya manusia memerlukan suatu sarana penyaluran beban-beban tersebut baik melalui aktivitas-aktivitas yang digemari, mendekatkan diri kepada Tuhan, termasuk melakukan komunikasi intens dan mencurahakannya pada manusia lainnya secara berkala, hingga timbullah hubungan persahabatan dan pacaran.
Namun yang menjadi permasalahan besar adalah ketika hubungan pacaran atau suami istri yang secara orientasi merupakan kebutuhan atas interaksi sosial, komunikasi yang intens dan mendalam serta penyaluran beban-beban kejiwaan justru disorientasi menjadi sarana terhadap berbagai tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun psikis.
Dalam hal ini, tak pelak kaum perempuanlah yang menjadi pihak yang paling dirugikan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pada dasarnya, relasi antara laki-laki dan perempuan sudah terkonstruksi secara tidak seimbang di dalam kehidupan masyarakat, dimana ketika perempuan distereotipe kan sebagai makhluk yang lemah, rendah kognitif dan rasionya, serta tak akan mampu melakukan apapun dan tak akan mampu berdiri sendiri tanpa ditopang oleh laki-laki, sehingga timbullah strata yang mensubordinasikan perempuan untuk berada di bawah laki-laki. Permasalahan yang timbul akibat ini sebenarnya cukup serius namun sayangnya sering diabaikan, apa lagi ketika hal tersebut dianggap sebagai kodrat.
Dampak buruknya adalah ketika kondisi tersebut juga termanifestasi ke dalam hubungan pacaran maupun suami istri. Posisi yang menyebabkan perempuan berada di bawah kedudukan laki-laki, tak sedikit membawa kerugian pada perempuan di dalam hubungan yang ada. Posisi yang tidak setara menyebabkan sebagian laki-laki melakukan dominasi terhadap perempuan. Ditambah lagi ketika terdapat berbagai kondisi yang menyebabkan relasi ketergantungan oleh perempuan terhadap laki-laki. Terutama kondisi perempuan relatif lebih sensitive dalam hal perasaan dan memiliki ketergantungan yang lebih dalam hal perhatian terkadang membuat laki-laki tanpa segan melakukan ancaman-ancaman seperti akan ditinggalkan atau akan diputuskan apa bila perempuan tidak menuruti keinginannya atau tidak menjadi seperti yang diharapkannya. Belum lagi ketika kondisi ekonomi laki-laki lebih mapan dibandingkan perempuan dan menyebabkan ketergantungan secara ekonomi oleh perempuan terhadap laki-laki. Kondisi ini tak jarang menyebabkan lahirnya tindakan sewenang-wenang dari laki-laki terhadap perempuan.
Di sisi lain, ketika hubungan tersebut merambah pada tindakan-tindakan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan biologis dan seks dimana terdapat sejumlah pasangan yang melakukan hubungan seksual baik secara semi maupun hingga taraf persenggamaan di luar nikah. Hal ini terlepas dari aspek legal atau haram-tidaknya. Bila hubungan yang dilakukan atas dasar suka sama suka sehingga pihak perempuan tak begitu peduli dengan kondisinya yang sudah ‘tidak suci’ lagi, mungkin akan berbeda kondisinya. Namun tak jarang hubungan seksual tersebut dilakukan atas bujukan bahkan paksaan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan cara menghipnotis dengan sejumlah janji-janji dan berbagai ancaman yang membuat pihak perempuan mau tak mau harus menuruti keinginan sang pacar. Kondisi ini kemudian menyebabkan perempuan yang telah hilang setengah atau seluruh keperawanannya berada pada posisi ketergantungan dan ketakutan akan ditinggalkan yang lebih parah dari sebelumnya. Buruknya adalah ketika kondisi ini dimanfaatkan oleh laki-laki untuk bebas menyakiti perempuan. Mereka seolah sadar sang perempuan tak akan melawan atau berpaling karena kondisi sang perempuan yang sudah ‘tidak suci’ lagi. Hal ini disebabkan karena budaya di dalam masyarakat akan mencap buruk terhadap perempuan yang kedapatan sudah tak perawan lagi di luar hubungan pernikahan, sehingga lahir ketakutan tidak ada laki-laki lain yang bersedia menjadi pasangannya dan sang perempuan akan menanggung aib seumur hidup, sedangkan laki-laki tidak.
Atas segala ketergantungan akut tersebut, tak jarang menyeret perempuan untuk berada di dalam kondisi yang sangat tertindas atas nama cinta di dalam hubungan. Mereka harus rela tertekan perasaan dan psikis, rela mengalami tindakan kekerasan, bahkan tak jarang yang harus rela dan pasrah menanggung sakit karena pasangannya selingkuh dengan perempuan lain, dan atas segala tindakan apapun lainnya yang ia terima. Namun seolah-olah perempuan tak punya pilihan lain selain ikhlas menerima semua perlakuan tersebut dengan ketakutan akan ditinggalkan oleh pasangannya.
Dalam hal ini, perempuan selayaknya mulai mempertegas posisinya di dalam hubungan. Tuhan tentu tidak akan merubah nasib suatu kaum jika mereka sendiri tidak mengubahnya. Demikian juga dengan kaum perempuanya yang nasibnya sama sekali tak akan pernah berubah jika mereka sendiri tidak melawan keadaan tersebut.
Perempuan sendiri harus memiliki bargaining position yang harus dibentuk dari awal menjalani hubungan. Sejak permulaan, hubungan selayaknya dibentuk oleh kesamaan pandangan tentang hak masing-masing pihak yang kemudian dimanifestasikan ke dalam sebuah kesepakatan atau aturan-aturan yang disepakati bersama tentang apa yang layak atau tidak layak dilakukan di dalam hubungan kelak, disertai dengan sanksi atau tindakan yang diperoleh terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap komitmen atau kesepakatan. Hal ini menjadi penting, karena hidup yang tanpa aturan hanya akan meyeret pada keadaan siapa yang kuat maka ia yang berkuasa hingga akhirnya melakukan tindakan sewenang-wenang.
Permasalahan dalam suatu hubungan pun selayaknya diselesaikan dengan sebuah mekanisme tanpa adanya pihak yang harus selalu dirugikan atau tanpa harus ada salah satu pihak yang selalu dianggap sebagai pusat kesalahan hingga akhirnya menjadi pusat pelampiasan, terutama terhadap perempuan.
Karena seperti yang dinyatakan di awal, cinta adalah perasaan yang teraplikasi pada perbuatan dan tindakan yang saling menyayangi, saling menghargai, tidak saling menyakiti, tidak saling possessive dan mengekang apa lagi mengkhianati. Tanpa kesemuanya itu, cinta sama sekali tidak ada artinya. Perempuan sendiri selayaknya tidak perlu takut untuk meminta posisi yang setara dan adil dalam sebuah hubungan. Dan perempuan juga harus menyadari bahwa laki-laki yang menyatakan mencintainya tapi justu malah selalu menyakiti dan menindas psikis dan fisik anda, sesungguhnya laki-laki tersebut tidak mencintai anda.



Komentar
Posting Komentar